KERAJAAN BALI
Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Kuno
Disusun oleh :
Dewi Permata Sari (1608301049)
Kelas : SKI B /3
SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
IAIN
SYEKH NURJATI CIREBON
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber sejarah adanya Kerajaan Bali diperoleh dari prasasti dan berita
Cina. Prasasti yang ditemukan di Bali berangka tahun 804. Saka (882 M). Isinya,
menyebutkan tentang pemberian izin kepada para bhiksu (pendeta Budha) dalam
pembulatan tempat pertapaan di Bukit Cintamani.
Dengan demikian, di Bali telah berkembang agama Hindu dan
Budha dalam abad ke-7 Masehi. Pada tahun 989 M Bali diperintahi oleh Raja
Udayana yang bergelar Dhaarmadayana Warmadewa. Raja ini manikah dengan
Mahendrata, cucu Mpu Sindok dari putrinya Sri Makuta Wangsawardhani dari
dinasti Isana (Jawa Timur). Dari perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang putra,
yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi raja Singhosari,
maka yang menggantikan ayahnya manjadi raja di Bali yaitu Marakata (adiknya).
Marakata kemudian digantiakan oleh Anak Wungsu (1049-1077 M). Anak Wungsu
adalah raja yang paling terkenal, karena banyak meninggalkan prasasti.
2.1 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kerajaan Bali?
2. Siapa saja Raja-raja yang memerintah kerajaan Bali?
3. Bagaimana aspek-aspek kehidupan di kerajaan Bali?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber sejarah
Sumber sejarah adanya Kerajaan Bali diperoleh dari prasasti dan berita
Cina. Prasasti yang ditemukan di Bali berangka tahun 804. Saka (882 M). Isinya,
menyebutkan tentang pemberian izin kepada para bhiksu (pendeta Budha) dalam
pembulatan tempat pertapaan di Bukit Cintamani. Prasasti lain yang ditemukan
berangka tahun 818 Saka (896 M). Isinya hampir sama yaitu tentang pembuatan
tempat pertapaan. Dari kedua prasasti tadi diketahui bahwa sekitar abad ke-8
Masehi telah datang para pendeta Budha untuk menetap di Bali dan mendirikan
tempat pertapaan.
Dalam prasasti Sanur yang berangka tahun 836 Saka (914 M) menggunakan bahsa
Sanskerta dan huruf Bali Kuno, isinya menyebutkan tentang seorang raja bernama Sri
Khaesari Warmadewa yang memerintah di Singhadwala.
Berita lain tentang kerajaan di Bali diperoleh dari Cina dari abad ke-7
yang menyebutkan bahwa di sebelah timur Ho-ling (Jawa) terdapat Kerajaan
Dwa-pa-tan (Bali). Disebutkan bahwa adat-istiadat rakyatnya hampir sama dengan
rakyat Ho-ling. Jika menulis menggunakan daun lontar. Mayat orang yang yang
meninggal dihias, diberi wangi-wangian, dan kepala mulutnya dimasukkan emas, lalu
dibakar (Ngaben). Pembakaran mayat ini merupakan adat kebiasaan pemeluk Hindu.
Dengan demikian, di Bali telah berkembang agama Hindu dan Budha dalam abad ke-7
Masehi.[1]
B. Raja-raja yang memerintah
Dari prasasti-prasasti yang ditemukan diketahui bahwa di Bali telah berdiri
Dinasti Warmadewa. Sejak tahun 915 M setelah Raja Sri Khaesari Warmadewa
yang memerintah di Bali adalah Raja Ugrasena. Raja Bali berikutnya
adalah Haji Tabanendra Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya
bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi (955-967 M). Ia
kemudian digantikan oleh Jayasingha Warmadewa (960-975 M). Pada masa
pemerintahannya dibangun tempat pemandian di desa Manukraya pada tahun 960
Masehi yang diberi nama Tirtha Empul (dekat istana Tampak Siring
sekarang).
Dalam tahun 983 M yang berkuasa di Bali adalah Sri Maharaja Sri Wijaya
Mahadewa. Pada tahun 989 M Bali diperintah oleh Raja Udayana yang
bergelar Dhaarmadayana Warmadewa. Raja ini menikah dengan Mahendrata,
cucu Mpu Sindok dari putrinya Sri Makula WangSawardhani dari Dinasti
Istana (Jawa Timur). Dari perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga,
Marakata, dan Anak Wungsu. Oleh karena Airlangga menjadi raja
Singhosari, maka yang menggantikan ayahnya menjadi raja di Bali adalah Marakata
(adiknya). Marakata kemudian digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu
(1049-1077 M). Anak Wungsu adalah raja Bali yang paling terkenal, karena banyak
meninggalkan prasasti. Disebutkan bahwa pada masa pemerintahannya rakyat hidup
makmur dan daerah kekuasaannya amat luas.
Dalam tahun 1077 M Anak Wungsu wafat dan dimakamkan di Gunung Kawi (dekat
Tampak Siring). Kedudukannya digantikan oleh Sri Maharaja Sri Walaprabhu.
Raja-raja Bali berikutnya adalah Sri Suradipa (1115-1119 M) dan Sri
Jayasakti (1133-1150 M). Dalam memerintah Sri Jayasakti menggunakan
undang-undang, yaitu Uttara Widhi dan Rajawacana (rajaniti). Raja
Bali terakhir adalah Bhatara Sri Asta-Asuraratha (1346 M). Pada tahun
1430 M Bali ditaklukan oleh Gajah Mada. Sejah saat itu, Bali dikuasai oleh
raja-raja Jawa. Pusat pemerintahan dari Samprangan dipindahkan ke Klungkung.
Raja-raja berikutnya yang memerintah di Kulungkung mengaku dirinya sebagai
keturunan Majapahit (Wong Mojopahit).[2]
C. Aspek-Aspek Kehidupan
1. Aspek Kehidupan Politik
Mengingat kurangnya sumber-sumber bukti dari
Kerajaan Bali, maka sistem dan bentuk pemerintahan raja-raja Bali kuno tidak
dapat diketahui dengan jelas. Raja-raja Bali kuno yang pernah berkuasa di
antaranya :
Pemerintahan dari Raja Sri Khesari Warmadewa
yang mempunyai istana di Singhadwala berhasil diketahui dari Prasasti Sanur
(913 M). Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Sri Khesari Warmadewa
berhasil mengalahkan musuh-musuhnya di daerah pedalaman.
Raja Sri Khesari Warmadewa adalah raja pertama
dan pendiri Dinasti Warmadewa.
Raja Ugrasena (915-942 M) memerintah Kerjaan
Bali
menggantikan Raja Sri Khesari Warmadewa. Pusat
pemerintahannya terletak di Singhadwala Masa pemerintahan Raja Ugrasena meninggalkan
9 buah prasasti. Prasasti-prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak terhadap
daerah-daerah tertentu. Di samping itu, juga terdapat prasasti yang memberikan
tentang pembengunan tempat-tempat suci.
Sistem dan bentuk pemerintahan pada masa itu
sudah teratur terutama tentang pemberian tugas kepada pejabat-penjabat istana.
Raja Tabanendra Warmadewa menjadi Raja Bali
menggantikan Raja Ugrasena. Ia memerintah bersama permaisurinya yang bernama
sang Ratu Luhur Subhadrika Dharadewi. Masa pemerintahan dari Raja Tabanendra
tidak dapat diketahui, disebabkan kurangnya berita-berita dari prasasti yang
menyangkut pemerintahan dari raja tersebut.
Pengganti Raja Tabanendra Warmadewa adalah
Raja Jayasingha Warmadewa. Namun, bagaiman bentuk dan sistem pemerintahan, dan
juga keadaan kerajaan tidak dapat diketahui secara pasti.
Masa pemerintahan raja inipun tidak berhasil
diketahui dengan pasti.
Pada tahun 983 M, Kerajaan Bali diperintahkan
oleh seorang raja putri yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Tetapi
asal usul putri ini tidak pernah diketahui dengan jelas. Namun, ada beberapa
ahli yang menafsirkan bahwa ia adalah putri dari Mpu sindok (Dinasti Isyana).
Setelah masa pemerintahan Sri Maharaja Sri
Wijaya Mahadewi, Kerajaan Bali diperintah oleh Dharma Udayana Warmadewa
(989-1022 M) dan permaisurinya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dhamapatni),
masih keturunan Mpu Sindok.
Pada masa pemerintahannya, hubungan Kerajaan
bali dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berjalan baik. Pada masa inilah
penulisan prasasti-prasasti dengan menggunakan huruf dan bahasa Jawa Kuno
dimulai.
Dengan meningggalnya Raja Dharma Udayana
Warmadewa, maka Kerajaan Bali diperintah oleh putranya yang kedua, yaaitu Raja
Marakata. Namun, ia memerintah tidak terlalu lama dan tahun 1025 M meninggal
dunia. Sistem dan bentuk pemerintahannya tidak pernah diketahui dengan jelas.
Melalui berita-berita dari prasasti dapat
diketahui bahwa Raja Anak Wungsu ( 1049-1077 M) adalah Raja Bali yang berhasil
mempersatukan seluruh wilayah Bali. Pada masa pemerintahannya, kehidupan rakyat
aman dan sejahtera. Rakyat hidup dari bercocok tanam dan beternak. Di samping
itusudah terdapat kelompok-kelompok pekerja di dalam masyarakat sebagai berikut
:
ü
Pande besi, emas, dan tembaga. Mereka ini
memiliki keahlian di dalam membuat alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan
dan lain sebagainya.
ü
Tukang kayu, batu, bangunan rumah, dan lain
sebagainya.
ü
Golongan pedagang dan saudagar. Golongan
saudagar laki-laki disebut warigrama dan saudagar perempuan disebut warigrami.
Raja juga memberikan perhatian cukup besar pada masalah-masalah keagamaan
dengan menjamin kesejahteraan para pertapa.
Pemerintahan Raja Jaya Sakti tidak begitu jelas diketahui, karena kurangnya
prasasti-prasasti yang menunjukkan tentang keberadaan sistem pemerintahannya.
Raja Bali kuno yang terakhit memerintah tahun 1343 M adalah Sri Astasura
Ratna Bhumi Banten yang lebih dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. Dalam
menjelaskan pemerintahannya, Raja Bedahulu dibantu oleh dua orang, patihnya
yang bernama Kebo Iwa dan Pasunggrigis.[3]
2. Aspek Kehidupan Sosial
Ketika Bali jatuh ke tangan Majapahit, sistem
kehidupan sosial di Bali terdiri atas bangsawan Jawa dan para pembesar
kerajaan. Sedangakan rakyat Bali dianggap rakyat jajahan yang tidak mempunyai
kekuasaan apa-apa. Setelah datangnya Dang Hyang Nirartha,di Bali diadakan
perubahan pembagian golongan secara tegas. Keempat putanya menduduki tempat
tertinggi yang disebut Kasta Brahmana di antaranya:Kemenuh (putranya beribu
dari Daha), Keniten (putranya yang beribu dari Pasuruan), Manuaba (putranya
yang beribu dari Blambangan) dan Mas (putranya yang beribu dari Mas). Tempat
kedua untuk keluarga yang memerintah disebut Kasta Ksatria dan tempat ketiga
disebut Waisya. Ketiga golongan itu dikenal dengan Triwangsa yang
semuanya berasal dari Jawa.
Di samping itu, terdapat pula istilah Jero dan
Jaba di Bali yang membedakan golongan orang-orang yang berada di dalam atau di
luar puri (keraton). Istilah Anak Jaba (bahasa Bali) adalah orang yang
tidak memegang pemerintahan, tetapi tidak dapat disamakan dengan Sudra di
India. Di India sendiri orang Sudra berasal dari bangsa Dravida, berbeda dengan
orang Arya yang berasal dari Indo-German. Sedangkan orang-orang yang mendiami
Kepulauan Indonesia, termasuk Bali, berasal dari satu nenek moyang. Demikian
pula halnya dengan Triwangsa dan Anak Jaba hanyalah berbeda dalam tugas dan fungsi. Akan tetapi, karena kesalahpahaman
terutama saat pendudukan Inggris di Indonesia, yang menyamakan keadaan sosial
di Bali dengan keadaan sosial di India, timbul anggapan adanya empat kasta
yaitu : Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra (istialah sudra kurang tepat untuk di
Bali). Namun, dalam kehidupan rakyat Bali hanya dikenal istilah Triwangsa dan
Jaba dengan tugas dan kewajiban yang berbeda dalam keagamaan.
Dalam perkembangan selanjutnya sistem sosial
di Bali dipertajam dengan digunakan titel-titel dalam pemakaian
nama-nama seperti : Ida Bagus, Cokorda, Anak wungsu, Gusti, Dewa, Ngakan dan
sebagainya. Sedangkan Wayan (Putu, Gede), Nengah, Nyoman, Made, dan Ketut
adalah sebagai urutan kelahiran yang dipakai oleh semua golongan.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Pulau
Jawa dikuasai oleh Islam, maka sebagai penduduk Majapahit yang tidak mau
menerima agama Islam menyingkir ke Bali. Mereka menyebut dirinya Wong Majapahit
atau Bali-Majapahit. Penduduk Asli Bali menyingkir ke daerah pedalaman seperti
di Trunyan (di tepi Danau Batur) dan di Tenganan (Bali sebelah timur).
Bali juga dapat disebut museum hidup
kebudayaan Hindu di Indonesia, karena sampai sekarang masih hidup kebudayaan
dan agama Hindu. Agama Hindu disebut Hindu Dharma atau Hindu Bali yang
merupakan sinkretisme antara animisme dengan Hindu dan Budha. Roh nenek moyang
dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (upacara ngaben). Tempat
pemujaan dilakukan di pura. Dewa-dewa menurut agama Hindu telah
dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan sang Hyang Widhi.
Dalam penjelmaannya ia dapat berupa Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu
(pemelihara), dan Dewa Siwa (perusak/pelebur).[4]
3. Aspek Kehidupan Ekonomi
Dari prasasti-prasastinya dan dari berita Cina
dapat diketahui, bahkan raja-raja Bali sangat memperhatikan kehidupan
rakyatnya. Disebutkan bahwa di bawah pemerintahan Anak Wungsu, Kerajaan Bali
tumbuh menjadi kerajaan besar. Rakyatnya hidup aman dan sejahtera.
Tempat-tempat peribadatan (pertapaan), tempat pemandian suci, pengairan, dan
sarana-sarana perdagangan dikembangkan. Rakyat Bali yang agraris hidup dari
pertanian dan perdagangan. Perdagangan di Bali pada waktu itu sudah maju.
Di beberapa daerah dikenal adanya golongan
pedagang, disebut Wanigrama (saudagar laki-laki) dan Waningrami
(saudagar perempuan). Kerajaan Bali juga menganut sistem perdagangan bebas,
sehingga para pedagang asing dan daerah-daerah Nusantara banyak yang berdagang
dengan Bali. Dari salah satu prasastinya disebutkan bahwa rakyat bali telah
banyak menanam tanaman yang laku di pasaran dunia, seperti padi gogo, kelapa,
enau, pisang, pinang, bambu, dan kemiri. Disebutkan pula bahwa penduduknya
gemar berburu binatang. Bahkan, untuk kepentingan berburu sang raja mengangkat
pejabat khusus, yaitu Nayakan Buru.[5]
4. Aspek Kehidupan Kebudayaan
Seperti halnya di Jawa, maka di Bali pada
sekitar abad ke-8 kehidupan masyarakatnya telah dipengaruhi oleh agama dan
budaya Hindu dan Budha. Hal ini terbukti dari adanya upacara pembakaran mayat
(Ngaben). Dari prasasti-prastinya dapat diketahui bahwa di bali telah
berkembang agama dan budaya Hindu dan Budha di samping kepercayaan terhadap
nenek moyangnya. Hal ini berarti kehidupan beragama di Bali waktu itu telah
bejalan berdampingan. Peninggalan-peninggalan budaya Kerajaan Bali telah banyak
ditemukan, di antaranya prasasti-prasasti, pemandian Tirtha Empul di Tampak
Siring, kitab undang-undang Uttawiddi dan Rajawacana, upacara Ngaben, dan
sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, di Bali telah berkembang
agama Hindu dan Budha dalam abad ke-7 Masehi. Pada tahun 989 M Bali diperintahi
oleh Raja Udayana yang bergelar Dhaarmadayana Warmadewa. Raja ini
manikah dengan Mahendrata, cucu Mpu Sindok dari putrinya Sri Makuta Wangsawardhani
dari dinasti Isana (Jawa Timur). Dari perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang
putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi raja
Singhosari, maka yang menggantikan ayahnya manjadi raja di Bali yaitu Marakata
(adiknya). Marakata kemudian digantiakan oleh Anak Wungsu (1049-1077 M). Anak
Wungsu adalah raja yang paling terkenal, karena banyak meninggalkan prasasti.
Di dalam kehidupan di Bali ada 4 aspek-aspek
kehidupan di antaranya :
1. Aspek kehidupan politik
2. Aspek kehidupan sosial
3. Aspek kehidupan ekonomi
4. Aspek kehidupan kebudayaan
DAFTAR PUSTAKA
Wijaya Juhana. 1996. Sejarah Nasional Dan
Sejarah Umum. Bandung : Penerbit Armico.
Waridah Siti dkk. 2002. Sejarah Nasional Dan
Umum. Jakarta : Bumi Aksara.
[1] Drs. E. Juhana Wijaya. Sejarah Nasional
Dan Sejarah Umum. (Bandung : Penerbit Armico, 1996), hlm 150.
[2] Drs. E. Juhana Wijaya. Sejarah nasional
Dan Sejarah Umum. (Bandung : Penerbit Armico, 1996), hlm 150-151.
[3] Dra. Siti Waridah Q, dkk. Sejarah Nasional
Dan Umum. ( Bumi Aksara, 2002) hlm 180-181
[4] Ibid, hlm 182-183
[5] Drs. E. Juhana Wijaya. Sejarah Nasional
Dan Sejarah Umum. (Bandung : Penerbit Armmico, 1996), hlm 152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar