Senin, 01 Januari 2018

Kerajaan Bali



KERAJAAN BALI

Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Kuno









Disusun oleh :

   Dewi Permata Sari (1608301049)

Kelas : SKI B /3




SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2016







BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sumber sejarah adanya Kerajaan Bali diperoleh dari prasasti dan berita Cina. Prasasti yang ditemukan di Bali berangka tahun 804. Saka (882 M). Isinya, menyebutkan tentang pemberian izin kepada para bhiksu (pendeta Budha) dalam pembulatan tempat pertapaan di Bukit Cintamani.
Dengan demikian, di Bali telah berkembang agama Hindu dan Budha dalam abad ke-7 Masehi. Pada tahun 989 M Bali diperintahi oleh Raja Udayana yang bergelar Dhaarmadayana Warmadewa. Raja ini manikah dengan Mahendrata, cucu Mpu Sindok dari putrinya Sri Makuta Wangsawardhani dari dinasti Isana (Jawa Timur). Dari perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi raja Singhosari, maka yang menggantikan ayahnya manjadi raja di Bali yaitu Marakata (adiknya). Marakata kemudian digantiakan oleh Anak Wungsu (1049-1077 M). Anak Wungsu adalah raja yang paling terkenal, karena banyak meninggalkan prasasti.
2.1  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah kerajaan Bali?
2.      Siapa saja Raja-raja yang memerintah kerajaan Bali?
3.      Bagaimana aspek-aspek kehidupan di kerajaan Bali?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber sejarah
Sumber sejarah adanya Kerajaan Bali diperoleh dari prasasti dan berita Cina. Prasasti yang ditemukan di Bali berangka tahun 804. Saka (882 M). Isinya, menyebutkan tentang pemberian izin kepada para bhiksu (pendeta Budha) dalam pembulatan tempat pertapaan di Bukit Cintamani. Prasasti lain yang ditemukan berangka tahun 818 Saka (896 M). Isinya hampir sama yaitu tentang pembuatan tempat pertapaan. Dari kedua prasasti tadi diketahui bahwa sekitar abad ke-8 Masehi telah datang para pendeta Budha untuk menetap di Bali dan mendirikan tempat pertapaan.
Dalam prasasti Sanur yang berangka tahun 836 Saka (914 M) menggunakan bahsa Sanskerta dan huruf Bali Kuno, isinya menyebutkan tentang seorang raja bernama Sri Khaesari Warmadewa yang memerintah di Singhadwala.
Berita lain tentang kerajaan di Bali diperoleh dari Cina dari abad ke-7 yang menyebutkan bahwa di sebelah timur Ho-ling (Jawa) terdapat Kerajaan Dwa-pa-tan (Bali). Disebutkan bahwa adat-istiadat rakyatnya hampir sama dengan rakyat Ho-ling. Jika menulis menggunakan daun lontar. Mayat orang yang yang meninggal dihias, diberi wangi-wangian, dan kepala mulutnya dimasukkan emas, lalu dibakar (Ngaben). Pembakaran mayat ini merupakan adat kebiasaan pemeluk Hindu. Dengan demikian, di Bali telah berkembang agama Hindu dan Budha dalam abad ke-7 Masehi.[1]




B.     Raja-raja yang memerintah
Dari prasasti-prasasti yang ditemukan diketahui bahwa di Bali telah berdiri Dinasti Warmadewa. Sejak tahun 915 M setelah Raja Sri Khaesari Warmadewa yang memerintah di Bali adalah Raja Ugrasena. Raja Bali berikutnya adalah Haji Tabanendra Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya bernama Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi (955-967 M). Ia kemudian digantikan oleh Jayasingha Warmadewa (960-975 M). Pada masa pemerintahannya dibangun tempat pemandian di desa Manukraya pada tahun 960 Masehi yang diberi nama Tirtha Empul (dekat istana Tampak Siring sekarang).
Dalam tahun 983 M yang berkuasa di Bali adalah Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewa. Pada tahun 989 M Bali diperintah oleh Raja Udayana yang bergelar Dhaarmadayana Warmadewa. Raja ini menikah dengan Mahendrata, cucu Mpu Sindok dari putrinya Sri Makula WangSawardhani dari Dinasti Istana (Jawa Timur). Dari perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Oleh karena Airlangga menjadi raja Singhosari, maka yang menggantikan ayahnya menjadi raja di Bali adalah Marakata (adiknya). Marakata kemudian digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu (1049-1077 M). Anak Wungsu adalah raja Bali yang paling terkenal, karena banyak meninggalkan prasasti. Disebutkan bahwa pada masa pemerintahannya rakyat hidup makmur dan daerah kekuasaannya amat luas.
Dalam tahun 1077 M Anak Wungsu wafat dan dimakamkan di Gunung Kawi (dekat Tampak Siring). Kedudukannya digantikan oleh Sri Maharaja Sri Walaprabhu. Raja-raja Bali berikutnya adalah Sri Suradipa (1115-1119 M) dan Sri Jayasakti (1133-1150 M). Dalam memerintah Sri Jayasakti menggunakan undang-undang, yaitu Uttara Widhi dan Rajawacana (rajaniti). Raja Bali terakhir adalah Bhatara Sri Asta-Asuraratha (1346 M). Pada tahun 1430 M Bali ditaklukan oleh Gajah Mada. Sejah saat itu, Bali dikuasai oleh raja-raja Jawa. Pusat pemerintahan dari Samprangan dipindahkan ke Klungkung. Raja-raja berikutnya yang memerintah di Kulungkung mengaku dirinya sebagai keturunan Majapahit (Wong Mojopahit).[2]

C.     Aspek-Aspek Kehidupan
1.      Aspek Kehidupan Politik
Mengingat kurangnya sumber-sumber bukti dari Kerajaan Bali, maka sistem dan bentuk pemerintahan raja-raja Bali kuno tidak dapat diketahui dengan jelas. Raja-raja Bali kuno yang pernah berkuasa di antaranya :
Pemerintahan dari Raja Sri Khesari Warmadewa yang mempunyai istana di Singhadwala berhasil diketahui dari Prasasti Sanur (913 M). Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Sri Khesari Warmadewa berhasil mengalahkan musuh-musuhnya di daerah pedalaman.
Raja Sri Khesari Warmadewa adalah raja pertama dan pendiri Dinasti Warmadewa.
Raja Ugrasena (915-942 M) memerintah Kerjaan Bali
menggantikan Raja Sri Khesari Warmadewa. Pusat pemerintahannya terletak di Singhadwala Masa pemerintahan Raja Ugrasena meninggalkan 9 buah prasasti. Prasasti-prasasti itu berisi tentang pembebasan pajak terhadap daerah-daerah tertentu. Di samping itu, juga terdapat prasasti yang memberikan tentang pembengunan tempat-tempat suci.
Sistem dan bentuk pemerintahan pada masa itu sudah teratur terutama tentang pemberian tugas kepada pejabat-penjabat istana.
Raja Tabanendra Warmadewa menjadi Raja Bali menggantikan Raja Ugrasena. Ia memerintah bersama permaisurinya yang bernama sang Ratu Luhur Subhadrika Dharadewi. Masa pemerintahan dari Raja Tabanendra tidak dapat diketahui, disebabkan kurangnya berita-berita dari prasasti yang menyangkut pemerintahan dari raja tersebut.
Pengganti Raja Tabanendra Warmadewa adalah Raja Jayasingha Warmadewa. Namun, bagaiman bentuk dan sistem pemerintahan, dan juga keadaan kerajaan tidak dapat diketahui secara pasti.
Masa pemerintahan raja inipun tidak berhasil diketahui dengan pasti.
Pada tahun 983 M, Kerajaan Bali diperintahkan oleh seorang raja putri yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Tetapi asal usul putri ini tidak pernah diketahui dengan jelas. Namun, ada beberapa ahli yang menafsirkan bahwa ia adalah putri dari Mpu sindok (Dinasti Isyana).
Setelah masa pemerintahan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi, Kerajaan Bali diperintah oleh Dharma Udayana Warmadewa (989-1022 M) dan permaisurinya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dhamapatni), masih keturunan Mpu Sindok.
Pada masa pemerintahannya, hubungan Kerajaan bali dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berjalan baik. Pada masa inilah penulisan prasasti-prasasti dengan menggunakan huruf dan bahasa Jawa Kuno dimulai.
Dengan meningggalnya Raja Dharma Udayana Warmadewa, maka Kerajaan Bali diperintah oleh putranya yang kedua, yaaitu Raja Marakata. Namun, ia memerintah tidak terlalu lama dan tahun 1025 M meninggal dunia. Sistem dan bentuk pemerintahannya tidak pernah diketahui dengan jelas.
Melalui berita-berita dari prasasti dapat diketahui bahwa Raja Anak Wungsu ( 1049-1077 M) adalah Raja Bali yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Bali. Pada masa pemerintahannya, kehidupan rakyat aman dan sejahtera. Rakyat hidup dari bercocok tanam dan beternak. Di samping itusudah terdapat kelompok-kelompok pekerja di dalam masyarakat sebagai berikut :
ü  Pande besi, emas, dan tembaga. Mereka ini memiliki keahlian di dalam membuat alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan dan lain sebagainya.
ü  Tukang kayu, batu, bangunan rumah, dan lain sebagainya.
ü  Golongan pedagang dan saudagar. Golongan saudagar laki-laki disebut warigrama dan saudagar perempuan disebut warigrami.
Raja juga memberikan perhatian cukup besar pada masalah-masalah keagamaan dengan menjamin kesejahteraan para pertapa.
Pemerintahan Raja Jaya Sakti tidak begitu jelas diketahui, karena kurangnya prasasti-prasasti yang menunjukkan tentang keberadaan sistem pemerintahannya.
Raja Bali kuno yang terakhit memerintah tahun 1343 M adalah Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang lebih dikenal dengan sebutan Raja Bedahulu. Dalam menjelaskan pemerintahannya, Raja Bedahulu dibantu oleh dua orang, patihnya yang bernama Kebo Iwa dan Pasunggrigis.[3]
2.      Aspek Kehidupan Sosial
Ketika Bali jatuh ke tangan Majapahit, sistem kehidupan sosial di Bali terdiri atas bangsawan Jawa dan para pembesar kerajaan. Sedangakan rakyat Bali dianggap rakyat jajahan yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Setelah datangnya Dang Hyang Nirartha,di Bali diadakan perubahan pembagian golongan secara tegas. Keempat putanya menduduki tempat tertinggi yang disebut Kasta Brahmana di antaranya:Kemenuh (putranya beribu dari Daha), Keniten (putranya yang beribu dari Pasuruan), Manuaba (putranya yang beribu dari Blambangan) dan Mas (putranya yang beribu dari Mas). Tempat kedua untuk keluarga yang memerintah disebut Kasta Ksatria dan tempat ketiga disebut Waisya. Ketiga golongan itu dikenal dengan Triwangsa yang semuanya berasal dari Jawa.
Di samping itu, terdapat pula istilah Jero dan Jaba di Bali yang membedakan golongan orang-orang yang berada di dalam atau di luar puri (keraton). Istilah Anak Jaba (bahasa Bali) adalah orang yang tidak memegang pemerintahan, tetapi tidak dapat disamakan dengan Sudra di India. Di India sendiri orang Sudra berasal dari bangsa Dravida, berbeda dengan orang Arya yang berasal dari Indo-German. Sedangkan orang-orang yang mendiami Kepulauan Indonesia, termasuk Bali, berasal dari satu nenek moyang. Demikian pula halnya dengan Triwangsa dan Anak Jaba hanyalah berbeda dalam tugas dan  fungsi. Akan tetapi, karena kesalahpahaman terutama saat pendudukan Inggris di Indonesia, yang menyamakan keadaan sosial di Bali dengan keadaan sosial di India, timbul anggapan adanya empat kasta yaitu : Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra (istialah sudra kurang tepat untuk di Bali). Namun, dalam kehidupan rakyat Bali hanya dikenal istilah Triwangsa dan Jaba dengan tugas dan kewajiban yang berbeda dalam keagamaan.
Dalam perkembangan selanjutnya sistem sosial di Bali dipertajam dengan digunakan titel-titel dalam pemakaian nama-nama seperti : Ida Bagus, Cokorda, Anak wungsu, Gusti, Dewa, Ngakan dan sebagainya. Sedangkan Wayan (Putu, Gede), Nengah, Nyoman, Made, dan Ketut adalah sebagai urutan kelahiran yang dipakai oleh semua golongan.
Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan Pulau Jawa dikuasai oleh Islam, maka sebagai penduduk Majapahit yang tidak mau menerima agama Islam menyingkir ke Bali. Mereka menyebut dirinya Wong Majapahit atau Bali-Majapahit. Penduduk Asli Bali menyingkir ke daerah pedalaman seperti di Trunyan (di tepi Danau Batur) dan di Tenganan (Bali sebelah timur).
Bali juga dapat disebut museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia, karena sampai sekarang masih hidup kebudayaan dan agama Hindu. Agama Hindu disebut Hindu Dharma atau Hindu Bali yang merupakan sinkretisme antara animisme dengan Hindu dan Budha. Roh nenek moyang dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (upacara ngaben). Tempat pemujaan dilakukan di pura. Dewa-dewa menurut agama Hindu telah dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan sang Hyang Widhi. Dalam penjelmaannya ia dapat berupa Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu (pemelihara), dan Dewa Siwa (perusak/pelebur).[4]
3.      Aspek Kehidupan Ekonomi
Dari prasasti-prasastinya dan dari berita Cina dapat diketahui, bahkan raja-raja Bali sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Disebutkan bahwa di bawah pemerintahan Anak Wungsu, Kerajaan Bali tumbuh menjadi kerajaan besar. Rakyatnya hidup aman dan sejahtera. Tempat-tempat peribadatan (pertapaan), tempat pemandian suci, pengairan, dan sarana-sarana perdagangan dikembangkan. Rakyat Bali yang agraris hidup dari pertanian dan perdagangan. Perdagangan di Bali pada waktu itu sudah maju.
Di beberapa daerah dikenal adanya golongan pedagang, disebut Wanigrama (saudagar laki-laki) dan Waningrami (saudagar perempuan). Kerajaan Bali juga menganut sistem perdagangan bebas, sehingga para pedagang asing dan daerah-daerah Nusantara banyak yang berdagang dengan Bali. Dari salah satu prasastinya disebutkan bahwa rakyat bali telah banyak menanam tanaman yang laku di pasaran dunia, seperti padi gogo, kelapa, enau, pisang, pinang, bambu, dan kemiri. Disebutkan pula bahwa penduduknya gemar berburu binatang. Bahkan, untuk kepentingan berburu sang raja mengangkat pejabat khusus, yaitu Nayakan Buru.[5]
4.      Aspek Kehidupan Kebudayaan
Seperti halnya di Jawa, maka di Bali pada sekitar abad ke-8 kehidupan masyarakatnya telah dipengaruhi oleh agama dan budaya Hindu dan Budha. Hal ini terbukti dari adanya upacara pembakaran mayat (Ngaben). Dari prasasti-prastinya dapat diketahui bahwa di bali telah berkembang agama dan budaya Hindu dan Budha di samping kepercayaan terhadap nenek moyangnya. Hal ini berarti kehidupan beragama di Bali waktu itu telah bejalan berdampingan. Peninggalan-peninggalan budaya Kerajaan Bali telah banyak ditemukan, di antaranya prasasti-prasasti, pemandian Tirtha Empul di Tampak Siring, kitab undang-undang Uttawiddi dan Rajawacana, upacara Ngaben, dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dengan demikian, di Bali telah berkembang agama Hindu dan Budha dalam abad ke-7 Masehi. Pada tahun 989 M Bali diperintahi oleh Raja Udayana yang bergelar Dhaarmadayana Warmadewa. Raja ini manikah dengan Mahendrata, cucu Mpu Sindok dari putrinya Sri Makuta Wangsawardhani dari dinasti Isana (Jawa Timur). Dari perkawinan itu, ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga menjadi raja Singhosari, maka yang menggantikan ayahnya manjadi raja di Bali yaitu Marakata (adiknya). Marakata kemudian digantiakan oleh Anak Wungsu (1049-1077 M). Anak Wungsu adalah raja yang paling terkenal, karena banyak meninggalkan prasasti.
Di dalam kehidupan di Bali ada 4 aspek-aspek kehidupan di antaranya :
1.      Aspek kehidupan politik
2.      Aspek kehidupan sosial
3.      Aspek kehidupan ekonomi
4.      Aspek kehidupan kebudayaan






DAFTAR PUSTAKA

Wijaya Juhana. 1996. Sejarah Nasional Dan Sejarah Umum. Bandung : Penerbit Armico.
Waridah Siti dkk. 2002. Sejarah Nasional Dan Umum. Jakarta : Bumi Aksara.







[1] Drs. E. Juhana Wijaya. Sejarah Nasional Dan Sejarah Umum. (Bandung : Penerbit Armico, 1996), hlm 150.
[2] Drs. E. Juhana Wijaya. Sejarah nasional Dan Sejarah Umum. (Bandung : Penerbit Armico, 1996), hlm 150-151.
[3] Dra. Siti Waridah Q, dkk. Sejarah Nasional Dan Umum. ( Bumi Aksara, 2002) hlm 180-181
[4] Ibid, hlm 182-183
[5] Drs. E. Juhana Wijaya. Sejarah Nasional Dan Sejarah Umum. (Bandung : Penerbit Armmico, 1996), hlm 152



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

penelitian Mbah Kuwu Sangkan

Meneliti Petilasan Mbah Kuwu Sangkan (Raden Walangsungsang)    Nama   : Dewi Permata Sari Nim   : 1608301049 Ke...